top of page
Search
bezabhadir1982

Kitab Risalah Al-Qusyairiyah PDF 517: Explore the Mysteries and Beauties of Sufism with Qushayri's R



2 BENTENG DARI KESESESATAN AKIDAH 1 METODE QUR ANI DALAM TAFSIR AL QUR AN! Posted on 17 Januari 2011 by abusalafy Persembahan Untuk: dan Para Wahhâbiyyûn Yang Jâmidûn! Al Qur an adalah kitab suci terakhir yang Allah turunkan untuk umat manusia. Ia diturunkan dengan bahasa dan dikemas dengan susunan yang indah. Sejak awal penurunanya Al Qur an telah mendapat sambutan hangat dari kaum Muslim dan mengundang perhatian dan keingin-tahuan tentangnya dan tentang makna yang terkandung di dalamnya. Allah SWT telah berjanji akan memberikan penjelasan atas firman yang Ia turunkan. Dan Dia juga mempercayakan Nabi-Nya untuk menjadi penafsir utama Al Qur an. Allah SWT berfirman:.ف ا ذا ق ر أ ناه ف ا تب ع ق ر آن ھ * ث م إ ن ع ل ی نا ب یان ھ Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.* Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya. (QS. Al Qiyamah;18-19). و أ ن ز ل نا إ ل ی ك ال ذك ر ل ت ب ی ن ل ل نا س ما ن ز ل إ ل ی ھ م و ل ع ل ھ م ی ت ف كر و ن Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An Nahl;44 ) Karenanya tafsir Nabi saw. adalah tafsir yang tidak boleh diabaikan dan harus diutamakan! Ia adalah rujukan utama dan pertama dalam memahami tafsir ayat-ayat Al Qur an disamping berujuk kepada Al Qur an sendiri. Sebab ayat-ayat Al Qur an itu saling mnjelaskan dan saling membenarkan! Nabi saw. bersabda: إنما نزل ی ص د ق بع ض ھ بع ض ا Sesungguhnya Al Qur an itu turun untuk saling membenarkan. [1] 1.1 ALLAH SWT MEMERINTAH UMAT MANUSIA AGAR MERENUNGKAN AYAT-AYAT AL QUR AN! Tadabbur terhadap ayat-ayat Al Qur an dengan mengindahkan syarat-syarat yang diperlukan adalah metode tafsir ideal. Allah SWT berfirman:.أ ف لا ی ت د بر و ن ال ق ر آ ن و ل و كا ن م ن ع ن د غ ی ر الله ل و ج د وا فی ھ اخ ت لافا ك ثیرا Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur an Kalau kiranya Al Qur an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An Nisâ ;82) Tentang ayat di atas, Ibnu katsir berkata, Allah berfirman memerintah mereka untuk tadabbur, merenungkan Al Qur an dan melarang dari berpaling darinya dan dari mencari faham tentang makna-maknanya yang kokoh 1


5 2) Ia berkata, Wakî menyampaikan kepada kami dari Sufyan dari Manshûr dari Mujahid, Menanti pahala dari Tuhannya. 3) Ibnu Basysyâr menyampaikan kepada kami, ia berkata, Abdurrahman menyampaikan kepada kami, ia berkata, Sufyan menyampaikan kepada kami dari Manshûr dari Mujahid, Menanti pahala. 4) Ibnu Humaid menyampaikan kepada kami, ia berkata, Mahrân menyampaikan kepada kami dari Sufyan dari Manshûr dari Mujahid., ia berkata, Mereka menanti pahala dari Tuhan mereka. Tiada akan melihat-nya sesuatu apapun dari ciptaan-nya.! 5) Yahya bin Ibrahim al Mas ûdi menyampaikan kepada kami, ia berkata, ayahku menyampaikan kepada kami dari ayahnya dari kakeknya dari A masy dari Mujahid, Menanti rizki dan anugerah-nya. 6) Ibnu Hamîd menyampaikan kepada kami, ia berkata Jarîr menyampaikan kepada kami dari Manshur dari Mujahid, ia berkata, Ada banyak orang berkata tentang hadis, Mereka akan melihat Tuhan mereka. Maka aku berkata kepada Mujahid berkata, Orang-orang berkata Dia akan dilihat! Mujahid berkata, Dia Maha Melihat dan tidak dapat dilihat oleh sesuatu apapun. 7) Jarîr menyampaikan kepada kami dari Manshur dari Mujahid ia berkata, Mereka menanti dari Tuhan mereka apa yang Dia perintahkan. [5] Bagi mereka yang selama ini mengkultus Salaf dan memasung diri hanya dengan menelan mentah-mentah apa yang dikatakan Salaf tentang ayat tertentu pasti berusaha keluar dari jeratan problem seperti ini. Tetapi bagi yang punya keterbukaan dan tidak memandang tafsir Salaf sebagai hujjah, pasti ia akan kembali kepada metode tadabbur/perenungan ayat dan tidak akan menerima atau menolak tafsir Salaf kecuali atas dasar bukti bukan atas dasar ucapan Salaf itu sendiri! 1.5 TIDAK SEMUA AYAT AL QUR AN TELAH DITAFSIRKAN OLEH SALAF Masalah lain yang akan menghadang mereka yang mengebiri kreatifitasnya dalam memahami tafsir Al Qur an adalah bahwa ternyata tidak semua ayat Al Qur an tu telah ditafsirkan oleh generasi Salaf baik sahabat mapun tabi în. Bahkan seperti yang kita ketahui bahwa Nabi saw. pun tidak menafsirkan seluruh ayat Al Qur an. Atau paling tidak berdasarkan riwayat yang ada di tangan para ulama, ternyata banyak ayat yang terlewatkan tidak ada riwayat tafsir Nabi saw.! 1.6 SUMBER PENGAMBILAN SALAF DALAM TAFSIR Bagi Anda yang mengetahui sumber pengambilan Salaf dalam memahami dan menafsirkan Al Qur an pasti ia tidak akan terjebak dalam kungkungan tafsir Salaf! Ustadz adz Dzahabi dalam kitabnya at Tafsîr wal al Mufassirûn menyebut empat sumber tafsir Salaf generasi awal; para sahabat: (1) Al Qur an itu sendiri. (2) Nabi saw. (3) Ijtihad dan istimbâth/penyimpulan. Ketika mereka tidak menemukan keterangan tentang sebuah ayat dari Al Qur an atau kesulitan mendapatkan keterangan dari Sunnah Nabi saw., mereka kembali kepada ijtihad dan menggunakan pikiran untuk menyimpulkan pendapat. (4) Pendapat Ahlul Kitab; Yahudi dan Nashrani.[6] (5) Dan di sini dapat ditambahkan sumber kelima yaitu Bahasa Arab melalui syair-syair orang-orang Arab, seperti yang banyak dilakukan oleh Ibnu Abbas ra. Sebab syair-syair bangsa Arab adalah bagaikan kamus yang 4




kitab risalah al-qusyairiyah pdf 517



6 merangkum kata-kata yang asing didengar oleh kebanyakan orang sekali pun. Sayyidina Umar ra. berkata, Hendaknya kalian memperhatikan diwân kalian agar kalian tidak tersesat! Mereka berkata, Apa yang Anda maksud dengan diwân kami? Ia menjawab, Syair-syair bangsa Arab masa jahiliyah. Di dalamnya terdapat tafsir Kitab suci kalian dan makna pembicaraan kalian. [7] Adapun Salaf generasi tabi în maka pengambilan mereka dalam tafsir dapat kita rangkum sebagai di bawah ini: (1) Berujuk kepada Al Qur an. (2) Mengindahkan tafsir Nabi saw dan keterangan para Sahabat yang sampai kepada mereka. (3) Memperhatikan asbâb nuzûl dan kasus-kasus yang karenanya ayat itu diturunkan. (4) Berujuk kepada bahasa Arab, khususnya yang diabadikan dalam syair-syair mereka. Ibnu Abbas ra. menganjurkan para muridnya untuk memperhatikan dan merujuk syair-syair Arab untuk mengenali arti kata dalam ayat Al Qur an.[8] (5) Mengandalkan ra yu dan ijtihad melalui perenungan dan penyimpulan. Dalam arti mereka menafsirkan tanpa berujuk kepada tafsir Nabi saw. atau seorang dari sahabat pun. Dengan bertadabbur dan memerhatikan segala yang meliputi ayat yang hendak ia tafsirkan. (6) Merujuk peninggalan Ahlul Kitab; Yahudi dan Nashrani (Perjanjian lama dan Perjanjian Baru). Setelah ini pasti Anda maklum bahwa tidaklah benar anggapan bahwa seorang mufassir harus memasung pemahamanannya dan membatasi diri dengan menjadikan tafsir Salaf sebagai hujjah yang tidak boleh keluar darinya! Sehingga apapun yang dipahami oleh seorang mufassir betapapun hebat dan luasnya ilmu yang ia miliki sebagai tafsir Khalafi yang konotasinya adalah bid ah mengada-ngada tidak memiliki Salaf dan akhirnya dicap tafsir liar! Sebab apapun yang tidak diambil dari Salaf pasti ia dihukumi liar!! Ar Râghib al Ishfahâni berkata menjelaskan ruang lingkup seorang mufassir, Manusia telah berbeda pendapat tentang tafsir al Qur an, apakah ia boleh bagi setiap orang untuk menjeburkan diri di dalamnya? Sebagian orang berkeras sikap dan berkata, Tidak boleh bagi seorang menafsirkan al Qur an walaupun ia seorang yang alim/pandai, sastrawan Arab, luas pengetahuannya tentang dalil-dalil fikih, nahwu (tata bahasa Arab), akhbâr/berita dan atsâr/data-data yang dinukil. Yang boleh baginya hanyalah menyampaikan apa yang telah sampai kepadanya dari riwayat Nabi saw. dan dari orang-orang yang menyaksikan turunnya al Qur an yaitu para sahabat dan orang-orang yang menimba ilmu dari para sahabat yaitu tabi în. Dan yang lainnnya mengatakan, barang siapa yang mendalami satra Arab maka boleh baginya menafsirkan Al Qur an. Orang-orang berakal dan para sastrawan Kedua pendapat di atas adalah ghuluw (berkeras-keras) dan tafrîth (teledor). Barang siapa membatasi diri dengan apa yang dinukil maka ia benar-benar meninggalkan banyak hal yang ia butuhkan. Dan barang siapa membolehkan siapa saja menafsirkan Al Qur an maka ia telah menjadikannya sasaran kekacauan dan tidak mengindahkan firman-nya:.ك تاب أ ن ز ل ناه إ ل ی ك م بار ك ل ی د بر وا آیات ھ و ل ی ت ذ ك ر أ ول وا الا ل با ب Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat- ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang- orang yang mempunyai pikiran. (QS. Shad;29).[9] Setelahnya ia menjelaskan sepuluh syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir. 5


10 Ayat-ayat Al Qur an kendati ia pasti/qath i dari sisi wurûd-nya, akan tetapi banyak darinya masih dzanni dalâlah (petunjuk)nya. Qath i yang dibutuhkan di sini adalah dalam dua levelnya; dalam warûd dan dalam dalâlah-nya secara bergandengan. Sebelum kita menalaah kualitas riwayat-riwayat tentang Nabi melihat Tuhannya dalam mimpi, kami ajak pembaca untuk meneliti dan mengkaji dua mukaddimah yang erat kaitannya dan sangat urgen sekali dengann tema kita. Dua kaidah ini penting untuk selalu kita indahkan dan menjadi pijakan dalam kajian-kajian kita tentang akidah Tauhid dan ketuhanan serta dasar-dasar keyakinan; ushûluddîn Kaidah Pertama: Pertama-tama yang harus kita cermati ketika mengangkat sebuah riwayat/hadis sebagai hujjah/bukti dalam menetapkan sebuah materi akidah [2]adalah bahwa keshahihan hadis dari sisi sanadnya saja belum cukup. Sebab kayakinan harus ditegakkan di atas dasar pondasi yang kokoh hadis yang dijadikan dasar hendaknya mutawâtir sehingga ia memberikan kepastian informasi; ilm dan dari sisi kandungan dan petunjukknya adalah Qath iyu ad Dalâlah. Sebab dalam hal keyakinan yang dituntut adalah keyakinan atas dasar yang pasti yang tidak boleh salah atau keliru. Demikian yang ditegaskan para ulama Islam. Karena itu apabila ada sebuah hadis âhâd betapapun ia shahih dari sisi sanad- bertentangan dengan nash Al Qur an atau hadis mutawatir atau ijma atau dalil aqli yang ditegakkan di atas kaidah-kaidah Al Qur an dan Sunnah maka ia secara otomatis gugur dari penganggapan dan berhujjah dengannya, sebab dalam kondisi seperti itu dalil yang belum pasti itu bertentangan dengan sesuatu yang pasti. Karena masalah ini sangat penting untuk diperhatikan dan sering kali dilupakan atau diabaikan oleh kebanyakan pengikut sekte Wahhâbiyah dan/atau Mujassimah maka kami perlu membahasnya dengan sedikit terinci. Hadis Âhâd Hanya Memberikan Kesimpulan Dzan Bukan Ilm Untuk lebih jelasnya saya akan libatkan kemontar dan keterangan para ulama yang menegaskan kenyataan ini. Komentar Al Hafidz al Khathib al Baghdadi Komentar Al Hafidz al Khathib al Baghdadi dalam kitab Al Faqîh wa al Mutafaqqih berkata: باب القول فیما یرد بھ خبر الواحد :... وإذا روى الثقة الما مون خبرا متصل الاسناد رد با مور : أحدھا : أن یخالف موجبات... العقول فیعلم بطلانھ Bab tentang hal-hal yang menyebabkan ditolaknya hadis ahâd jika seorang parawi tsiqah dan terpercaya meriwayatkan sebuah hadis yang bersambung sanadnya, ia dapat ditolak dengan banyak asalan: Pertama, Apabila ia (hadis itu) menyalahi kepastian hukum akal sehat maka dengannya dapat dipastikan kepalsuannya. Sebab agama datang dengan hal-hal yang dibenarkan akal sehat bukan yang bertentangan dengannya. Kedua, Ia bertentangan dengan nash Al Qur an dan Sunnah yang mutawatirah, maka karenanya diketahui bahwa riwayat itu tidak punya asal muasal yang benar. Ketiga, Ia menyalahi ijma, maka disimpulkan bahwa apa yang termuat dalam hadis itu telah di-mansukh-kan. 9 2ff7e9595c


0 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page